Ritual Nyobeng merupakan kegiatan “memandikan dan memberi makan” tengkorak kepala manusia peninggalan leluhur masyarakat Dayak Bidayuh pada zaman mengayau ratusan tahun silam. Menurut cerita, konon jumlah tengkorak kepala yang sudah ada sejak abad ke-15 itu berjumlah sekitar seribu.
Sebelum meneruskan membaca tradisi Nyobeng, baca juga 7 Tradisi Khas Anak Indonesia Sebagai Wisata Budaya Indonesia
Tengkorak-tengkorak kepala itupun bukan meilik orang sembarangan. Menurut penuturan tetua kampung, pada zaman kayau orang-orang sakti di kampung pergi keluar kampung guna berperang dengan orang-orang sakti dari kampung lain. Sebaliknya pula ketika mereka di sebuah kampung diserang kampung lain. Jika menang perang, kepala hasil mengayau dibawa pulang ke kampung sebagai lambang kemenangan.
Kampung Tadan merupakan salah satu kampung yang masih melangsungkan ritual adat Nyobeng. Secara administratif, Kampung Tadan masuk wilayah Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang, kalimatan Barat. Kampung itu dihuni Suku Dayak Bidayuh Tadan dengan sebaran komunitasnya di jalus perbtasan Indonesia-Malaysia.
Ritual Nyobeng Dayak Bidayuh dipusatkan di Rumah Adat Baluk di tengah kampung. Pada pelataran yang terletak tepat di bawah tangga rumah adat setinggi 4 meter dengan dimensi panjang 6 meter serta lebar 5 meter itu ritual dimulai. Seorang tertua adat merapalkan mantra, menandakan ritual tahunan “Mek Siai Nutup Soak” (makna harfiah, upacara adat tutup tahun muim berladang yang diakhiri dengan masa panen) pun dimulai.
Tujuan ritual tersebut adalah ungkapan rasa syukur warga kepada Sang Pencipta atas hasil panen. Mereka berharap musim tanam berikutnya juga diberikan kelimpahan hasil panen serta kesuburan tanah. Pesta adat tahunan itu dibarengi ritual adat Nyobeng yang menjadi dari rangkaian prosesi panjang.
Saat ini jumlah tengkorak kepala di Kampung Tadan tersisa hanya 53 buah. Sisanya turut dibawa ke liang lahat oleh orang sakti maupun keturunan yang merawatnya. Dikisahkan pula, jika satu orang sakti pada masa mengayau mendapatkan lima kepala, saat orang sakti itu meninggal satu atau dua kepala hasil kayau-nya ikut dikubur bersama.
Selain tengkorak kepala manusia, turut diritualkan 63 tengkorak kepala rusa, hewan yang sangat dikeramatkan masyarakat. Yang disimpan pun bukan tengkorak kepala sembarang rusa, melainkan yang dinilai sebagai jelmaan makhluk gaib.
Kisah masyarakat setempat, konon terjadi peperawangan melawan makhluk gaib. Setelah sekian lama berperang, orang sakti belum juga berhasil menang. Akhirnya ditemukan cara mengalahkan makhluk gaib itu dengan berdandan menyerupai mereka agar bisa bertemu pimpinan makhluk gaib tersebut.
Cara itu berhasil. Orang sakti mengoleskan “Sabak Jeranang” ramuan pewarna dari getah buah sejenis rotan ke wajah. Setelah bertemu, pimpinan makhluk gaib pun mengaku kalah dan membuat perjanjian. Badas Samadok Jaben Samak Monjok, nama pimpinan makhluk gaib itu, menjajikan bantuan apa pun pertolongan jika masyarakat merawatnya.
Proses Menurunkan Kepala Tengkorak Di Upacara Adat Nyobeng
Prosesi menurunkan tengkorak dari rumah adat pun dimulai. Satu persatu masyarakat yang berpakaian adat menaiki rumah adat. Lalu, satu persatu pula tengkorak diturunkan bergantian, dimulai dari tengkorak kepala rusa lalu tengkorak kepala manusia, sembari mengeluarkan suara tariu. Tengkorak-tengkorak itu kemudian diletakkan di pelantaran yang sudah diberi atap sebagai naungan.
Setelah semua tengkorak diturunkan dan diletakkan di bawah pelataran, ritual selanjutnya adalah membacakan serta merapalkan mantra, lalu melengkapi peraga adat beruba sesaji untuk roh leluhur yang diyakini bersemayam di tengkorak dan turut menjaga kepala hasil kayau mereka. Selama berada di bawah, tengkorak-tengkorak itu harus dijaga secara bergiliran oleh para tetua adat.
Ada pantangan tengkorak-tengkorak itu tidak boleh dinaikkan lagi kerumah adat lewat dari tengah hari. Kepercayaan masyarakat setempat, saat matahari naik dari pagi hingga tengah hari, itulah waktu tepat menaikkan tengkorak-tengkorak ke rumah adat. Dipercaya rezeki akan naik seperti matahari. Selepas tengah hari hingga matahari terbenam, dipercaya rezeki menurun seiring turunnya matahari kembali ke peraduan.
Selama berada di bawah, tengkorak-tengkorak itu dijaga bergantian oleh tetua adat hingga pagi menjelang. Tidak boleh tertidur saat menjaga tengkorak-tengkorak tersebut, apalagi meninggalkannya hingga tiba prosesi ritual menaikkan lagi tengkorak-tengkorak itu pada hari berikutnya, persis dengan waktu menurunkan sehari sebelumnya. Yang berbeda kali ini hanya mengembalikan tengkorak-tengkorak itu ketempat asalnya di rumah adat.
Arah kepala tengkorak yang akan dipindah secara estafet mengikuti arah menuju pintu masuk rumah adat. satu persatu tengkorak kepala dinaikkan diiringi tetabuhan musik dan senandung serta riuh suara tariu. Setelah tengkorak-tengkorak berada di tempat semula, ritual ditutup dengan menyembelih seekor babi, penanda berakhirnya ritual upacara adat Nyobeng.
Upacara adat Nyobeng di Kampung Tadan itu dilaksanakan tiap tanggal 25 Mei setiap tahunnya. Sebelumnya hajatan adat itu dilaksanakan setiap akhir panen. Namun, kondisi saat ini jauh dari kebiasaan masa lalu. Sederhana saja alasannya, memudahkan masyarakat dari kampung lain datang berkunjung ke kampung mereka.
Hingga kini tradisi Nyobeng bagi komunitas Dayak Bidayuh Tadan, yang mayoritas pemeluk Katolik dan Protestan, terus dilestarikan sebagai ungkapan syukur atas apapun hasil panennya, berlimpah atau tidak. Adat Nyobeng merupakakan cara masyarakat Dayah Bidayuh Tadan mengucapkan syukur kepada Pencipta sekaligus penghormatan pada tradisi leluhur, budaya leluhur jauh sebelum agama hadir di kampung mereka.
Inilah kearifan lokal masyarakat Dayak Bidayuh Tadan di pedalaman Kalimantan Barat untuk melestarikan budaya mereka.